Sebutir nasi di gunung logam
Oleh Sahabat Iduzzaman
Mahasiswa Untag 45 Banyuwangi
Aktif di PMII Untag 45 Banyuwangi
..............................
"asiik,ada yang datang". Bisik ku kepada teman di samping ku, yang sejak tadi kami berdua berjongkok di pinggir jalan. Lalu aku berlari ketengah jalan yang penuh debu itu, dan meletakkan benda yang ada di tangan ku sejak tadi. Palu kayu, palu yang ku buat dengan teman ku tadi, seukuran genggaman tangan orang dewasa.
Setelah meletakkan palu itu, dan memastikannya berada pada posisi yg pas, aku kembali lagi ke pinggir dan berlari melewati pekarangan rumah ku. Aku mau sembunyi dulu di dalam rumah, diikuti teman ku.
Setelah pintu ku tutup. "ada apa le?" suara lelaki tua yang ternyata suara bapak ku sendiri, aku menoleh ke belakang. Bapak sejak tadi duduk di dipan dengan kopi di depannya dan rokok lintingan di tangannya. Mungkin ia penasaran dengan tingkah kami berdua.
"Monsternya mau lewat lagi pak". Ujar ku menjawab sekenanya. Seraya mengendap-endap ke arah jendela, seolah ingin mengintai musuh yg siap menerkam kami.
Ku intip dari jendela yg mengarah langsung ke jalan, dan palu itu masih berada di tempatnya. "sudah dekat di ?" , bisik teman ku yg masih nguntil di belakang.
Ku lirik benda besar yang berjalan perlahan itu, ukurannya lebih besar dari rumah ku, warna tubuhnya putih abu-abu dengan kaki bulat hitam besar, mungkin tubuh ku kalah tinggi dari bulatan itu.
Tubuhnya kotor, penuh dengan lumpur, jalannya terseok-seok seolah sedang menanggung beban berat pada tubuhnya, entah apa yang dia bawa. Ketika bulatan itu berputar, mampu menerbangkan debu-debu di sepanjang jalan itu, entah ilmu apa yang dia pakai, yang jelas orang normal tak akan bisa melakukannya.
"..." ku dengar suara gumaman di atas ku. Ternyata bapak sudah ada di belakangku juga. Ia ikut mengintip keluar saraya mengucapkan sesuatu, tapi tak jelas di telingaku apa yg dia bicarakan, suaranya kalah dengan suara deruman di luar yang mulai mengeras.
Ku lirik wajahnya sekilas, ada aura kemarahan muncul. matanya melotot dan bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu, sepertinya ada dendam yg ia pendam dengan monster itu, entah, aku tak tau. Aku menyebut benda besar itu "monster" karena bapak yg memberi tau.
Ku lihat lagi keluar, monster itu sudah sampai di depan rumahku, suaranya bergema menggetarkan kaca dihadapan ku, debu beterbangan ke seluruh penjuru. "yes.." gumam ku ketika ku lihat monster itu mulai dekat dengan palu ku tadi.
Ku lihat setelahnya, palu itu mulai hancur ketika kaki monster menginjaknya. "hancur di.." ujar teman ku. Ia tertawa kecil, aku hanya mengangguk dan tersenyum melihat palu kami hancur.
Beberapa minggu terakhir ini, memang kami sering melakukan hal itu. Terutama ketika jalan berkerikil depan rumah kami dilalui monster-monster besar. Kami selalu meletakkan benda yg kami temukan atau buatan sendiri di tengah jalan, agar nanti diinjak oleh monster itu. Entah, apa maksud kami dengan kelakuan itu, yang jelas, hal itu cukup membuat kami yang masih SD ini senang melihatnya.
Kata bapak, monster itu kejam. Dia selalu pergi ke bukit di selatan desa ku, mengamuk di sana. Menghancurkan pohon-pohon, merusak tanaman, merusak sungai, dan yg pasti, merusak tempat bermain kami. Sebelumnya kami selalu bermain di sana, habis pulang sekolah kami selalu berkumpul di rumah roji, teman sekelas ku, karena rumah roji paling dekat dengan bukit itu, untuk kami berangkat bersama ke bukit.
Di sana lah tempat kami bersenang-senang, berburu, bermain, dan melakukan hal-hal yg menurut kami luar biasa. Tapi sekarang, kami tak bisa lagi ke sana. Dunia kami sudah di rebut oleh monster-monster itu, kami tak tahu harus berbuat apa.
Pernah kami memaksa ingin pergi kesana, tapi malah di larang oleh bapaknya roji, kami dimarahi dan disuruh pulang kerumah masing-masing. Sesampainya di rumah, bapak juga memarahi ku, ketapel kesayangan ku pun sampai dipatahkannya. Semua teman ku juga bernasib sama, Sehingga kami tak berani lagi kesana.
Aku masih penasaran, kenapa bapak melarang ku kesana, tapi bapak ku malah setiap hari ke sana. Apa bapak berteman dengan monster? Atau bapak dipaksa? Aku tak tahu alasannya, dan belum bisa mencari tahu, ketika ku tanya ke bapak ibu, bukannya dijawab, malah nyuruh aku belajar.
Mungkin karena aku masih kecil, tapi aku yakin, besok aku tahu alasannya. Pernah aku mendengar sedikit obrolan bapak sama ibu, ketika aku pura-pura tidur di kamar.
Mereka berbicara pelan, namun aku masih tetap bisa mendengar, mereka bicara menggunakan bahasa daerah. Dan yang ku pahami dari obrolan mereka, bapak pergi kesana tiap hari untuk mencari nasi, dia terpaksa cari di sana karena lahan bapak yg di dekat bukit itu terpaksa dijual.
Aku tak tahu pasti, dan belum mau memastikan, yg penting aku dan teman ku sudah memiliki permainan baru untuk menikmati masa kecil ku, walau pun menurut kalian itu membosankan, tapi itu cukup membuat kami senang.
Komentar
Posting Komentar
Kritik dan Saran Sangat Di Butuhkan Untuk Membangun Blog