Refleksi Tahun Baru Islam

Akrab dipanggil sahabat Irfan.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.
Terlibat juga organisasi intra-kampus di Untag Banyuwangi

Penderitaan itu nyata ketika orang takut akan ketidakpastian masa depannya sehingga akhirnya depresi. Bahkan, depresi sudah menjadi pandemi global. Depresi memang menjadi pionir empat besar beban kesakitan yang diprediksi menjadi ledakan hebat pada 2020 dan 2030.

Akibat depresi, banyak orang yang tergoda melakukan bunuh diri. Menurut WHO, setiap 40 detik ada satu orang yang melakukan bunuh diri. Itu merupakan angka yang sangat besar.B

Bunuh diri bahkan kian dijadikan “gaya hidup”, disiarkan langsung di internet  Bunuh diri pun mudah menular. Dalam dunia psikologi, hal itu disebut “Werther Effect”. Sebutan tersebut berasal dari nama tokoh fiktif dari novel Goethe, penulis ternama pada akhir abad ke-18.

Dalam novelnya, The Sorrows of  Young Werther, Goethe berkisah tentang tokoh protagonis yang sengaja bunuh diri setelah cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat, setelah novel itu beredar, tindakan Werther ditiru banyak pembacanya dengan memakai pakaian dan cara mati yang serupa dengan yang dilakukan Werther.

Dampak lain dari depresi adalah alienasi atau keterasingan sehingga orang kehilangan arti hidup. Hidup menjadi tak bermakna atau hampa. Orang pun tergoda untuk bertindak brutal, biadab, serta nekat demi memberi makna pada hidupnya meski berakhir sia-sia. Meski, beberapa diantara kita meyakini kekuatan berasal dari keterasingan.

Selain soal cinta yang mengakibatkan depresi. Persoalan yang selalu mengahantui negeri ini dalam hal segi ekonomi, apalagi klo bukan soal kemiskinan. Seorang budayawan pernah berkata, “Jika kamu khawatir besok makan atau tidak, maka itu sudah menghina Tuhan”. Setiap orang mempunyai jatah dan porsi masing-masing dalam mendapatkan risky-Nya. Dengan tidak melupakan tugas kita sebagai manusia seutuhnya. Maka benarlah pendapat dari Gus Dur bahwa jika kamu berbuat baik maka orang tidak akan menanyakan agamamu.

Mungkin kita masih ingat peristiwa menggemparkan sekaligus memiluka di Semarang pada pengujung 2013. Bayangkan, seorang tukang becak yang bernama Samidi, 60, meninggal setelah makan nasi basi. Dia menghembuskan napas terakhir persis di bawah gambar calon legislative (caleg) yang menjanjikan kesejahteraan. Samidi menjadi symbol kejamnya penderitaan karena kemiskinan.

Memang ada beragam perspektif dalam memandang kemiskinan. Kaum konservatif dengan tokohnya seperti Auguste Comte atau Emile Durkheim berpendapat bahwa kemiskinan terjadi karena mentalitas orang-orang miskin. Karena itu, kaum liberal dengan tokoh Fredrich August Von Hayek berpendapat untuk mengatasi kemiskinan, mentalitas orang-orang miskin harus diubah lewat pendidikan.

Sementara itu, menurut model konflik dengan tokoh seperti Adam Smith atau Karl Marx, struktur sosial merupakan hasil pemaksaan mereka yang kuat atas yang lemah. Hal itu menemukan pembenarannya jika kita kaitkan dengan fasisme abad ke-21 sebagaimana yang diungkapkan Peter Philips.

Menurut analisis Peter Philips, sebuah kekuasaan yang amat rakus sudah menindas miliaran orang di berbagai belahan penjuru dunia. Aktor utama kekuasaan itu adalah sebuah kelas kapitalis trans-nasional yang punya asset kekayaan senilai USD 100 triliun. Mereka sangat agresif merampok sumber kekayaan alam di mana pun. Mereka memiliki segala sarana dan prasarana untuk menjalankan kekuasaan.

Konyolnya ada yang berpendapat, kaum fasisme abad ke-21 itu ilusi. Padahal, kalau kita kaitkan dengan kekayaan alam negeri kita yang melimpah, seharusnya rakyat bisa sejahtera. Jadi, kalau sampai ada yang miskin, berarti ada pihak yang sangat serakah, yakni kaum fasis itu.

Keserakahan memang menjadi masalah terbesar dewasa ini. Keserakahn bersumber dari egoisme. Keserakahan membuat orang menjadi tidak bahagia karena tidak ada yang dapat memuaskan hasratnya. Selalu ingin lebih, tanpa mengenal batas.

Maka Allah berfirman dalam kitabnya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”[QS. An Nazi’at: 40-41].

Al-Quran menunjukkan bahwa tugas kita adalah mengendalikan ego (nafsu). Barangkali dengan cara itu kita bisa meringankan penderitaan orang lain atau setidaknya tidak membuat orang lain menderita sebagai manusia yang seutuhnya.(e12)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"CADRE"

PK PMII Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Galang Donasi