*Krisis Ekologi Banyuwangi*
Balai Desa Gendoh, 11 Februari 2020. PMII Untag 45' Banyuwangi bersama warga, pemuda, dan mahasiswa melaksanakan nonton bareng film dokumenter "The Bajau". Ada sekitar 75 penonton hadir di lokasi. Acara pembukaan dimulai dengan menyanyikan Indonesia raya mengingat film the bajau sendiri mengangkat tema tanah air. Selanjutnya di lanjutkan Nonton bareng film "The bajau" dengan di akhir pemutaran film di isi pentas karya kawan kawan solidaritas perjuangan dengan lagunya yang berjudul "Apa kabar Tumpang Pitu". Setelah diisi lagu, beranjak kepada acara inti yakni diskusi dengan 4 pemantik diskusi yakni: Gus Roy Murtadho, Bung Merah Johansyah, Mbak Susan, dan Bung Ahmad Asof.
Banyak sekali pesan yang bisa diangkat dari film tersebut. Film the bajau sendiri memaparkan dampak aktivitas pertambangan terhadap masyarakat perairan sekitar yakni suku bajo sendiri. Bagaimana suku bajo yang secara paksa disuruh pindah untuk ke daratan yang padahal kehidupan mereka sehari hari hidup di perairan karena mata pencaharian hidup mereka adalah nelayan.
Ada beberapa hal yang penulis ambil sendiri dari nobar dan diskusi film the bajau, antara lain :
1. Menjadi kritik bagi masyarakat Banyuwangi sendiri, bagaimana pribumi (masyarakat Banyuwangi) mengenal buminya sendiri.
2. Menjadi perhatian khusus seharusnya film the bajau, karena di Banyuwangi juga terdapat aktivitas pertambangan di gunung tumpang pitu.
3. Dampak kerugian yang akan di peroleh oleh masyarakat sekitar akan jauh lebih besar daripada keuntungan yang di peroleh saat ini.
Sesuai dengan pernyataan Gus Roy Murtadho "Bahwa golden share yang di dapat pemerintah sebesar 10% tidak akan berbanding cukup dengan kerugian yang akan di dapatkan kerusakan lingkungan gunung Tumpang Pitu."
Ditambah dengan respon Bapak Kepala Desa Gendoh, Didik Darmadi "Bahwa dia tidak sepakat dengan masuknya investor masuk di Indonesia. Contohnya adalah tambang yang terlama di Indonesia yaitu PT.Freeport di Papua yang justru keuntungan bukan untuk rakyat Indonesia, malah kepada investor."
Pertanyaan menarik dari Alfian Firdaus salah satu penonton yang hadir "Lalu apakah saat ini kita telah merdeka?" Tanya Alfian.
Kata Bung Merah Johansyah "Kemerdekaan kita hari ini hanya sebatas nyanyian Indonesia Raya, selebihnya tidak. Karena tanah air kita sudah milik investor."
Dari berbagai pemaparan oleh pemantik diskusi dan pelajaran yang dapat diambil dari pemutaran film the bajau. Meminjam kata kata Pramoedya Ananta Toer "Sejauh mana pribumi mengenal buminya sendiri". Juga meminjam kata kata Tan Malaka "Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling."
Lalu apakah kita rela rumah kita di jarah oleh orang lain? Tidak pastinya. Kacamata Paradigma pemerintah yang berbasis developmentalisme (pembangunan) yang mengukur kesejahteraan rakyat lewat pesatnya investasi. Harus diubah! Karena ciri negara kapital adalah urbanisasi. (Lihat isu pulau tabuhan). Kapitalisme Negara bertujuan membangun negara melalui keyakinan infrastruktur, aparatur negara, dan aparatur sipil. Sedangkan azas pembangunan kita sesuai dengan Undang undang adalah pembangunan berkelanjutan. Yang jika melihat pertambangan tumpang pitu, adalah menghabiskan kekayaan sumberdaya alam sekaligus. Yang sebenarnya hari ini kita sedang meminjam sumberdaya alam kita kepada anak cucu kita kelak. Lebih gampangnya adalah sumber daya alam merupakan warisan bagi anak cucu kita di masa depan.
Penulis : Sahabat Ando
Akan lebih menarik lagi ketika diskusi yang dilakukan menghasilkan konsepsi transformatif mengingat kompleksnya persoalan di Indonesia. Sebut saja beberapa diantara kemiskinan, rendahnya minat baca-tulis dan tingkat pendidikan, belum lagi dengan menjamurnya pengangguran. Barangkali sahabat pmii untag punya solusi terbaik, sehingga Indonesia akan menjadi negara yang berdaulat dan mampu mensejahterakan masyarakatnya yang majemuk tanpa adanya investasi atau bahkan hutang uang ke luar negeri.
BalasHapus