September Hitam: Refleksi Pergerakan dan Perjuangan Kaum Tani Di Banyuwangi


gambar di ambil dari google.com

            Hari Tani Nasional merupakan sejarah perjuangan golongan petani hingga pembebasan mereka dari kesengsaraan. Berdasarkan sejarah tersebut, ditetapkanlah Hari Tani pada tanggal 24 September dalam UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Selain itu hari tani mengandung semangat pembebasan dari jerat kolonialisme.

Sejarah Hari tani merupakan sejarah negara Indonesia karena Indonesia merupakan negara agraris. Dalam hal ini adalah sektor pertanian. Tidak lepas juga di Banyuwangi.  Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 sisa sisa penjajahan masih kuat dan tidak banyak merubah nasib kaum  tani sebagai butuh dari tuan tanah dan perkebunan perkebunan.

Mengerucut di Banyuwangi, merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur, wilayahnya yang cukup beragam dari dataran rendah hingga pegunungan. Secara geografis penduduk Banyuwangi merupakan masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Itu dapat dilihat dari bentang wilayah. Begini logikanya. Apabila terdapat dalam suatu daerah lebih banyak pabrik, maka mata pencaharian hidupnya tidak mungkin adalah nelayan. Artinya dengan letak geografis Kabupaten Banyuwangi adalah agraris maka tentu seharusnya mayoritas mata pencahariannya adalah bertani.

Namun logika tersebut tidak sepenuhnya berbanding lurus, sebab pasalnya di Banyuwangi di beberapa wilayah dari ujung selatan, barat, dan utara banyak sekali terdapat konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik tersebut adalah perkara ruang hidup tentunya, mengingat Banyuwangi sebagai kabupaten terluas di Jawa Timur, tentu berbicara luas adalah berbicara ruang.

Berbicara ruang merupakan syarat dari suatu masyrakat hidup. Kita dapat membaca itu dari bagaimana cara manusia bertahan hidup no maden hingga maden.

Menyambut hari tani 24 Spetember 2023. Penulis ingin mengajak pembaca menggugat ingatan ulang perkara ruang hidup di Banyuwangi. Rentetan perampasan ruang dari awal tahun  2000 an hingga 2023 telah mengambil banyak korban di Banyuwangi. Mengapa Hari Tani? Mengapa Petani? Ya. Sebab negara kita adalah negara agraris. Negara dimana mayoritas penduduknya adalah petani. Perjuangan bangsa adalah perjuangan kaum tani. Koloni dating ke Indononesia adalah ingin mencuri rempah rempah.

Kemerdekaan sebagai harapan bagi rakyat Indonesia untuk membebaskan dirinya dari penjajahan. Namun tak cukup dengan itu watak kolonialisme diwarisi oleh pemerintah. Aset aset Indoenesia baik institusi maupun  perusahaan  plat merah/ Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap kali menggusur rumah dan merampas tanah pertanian rakyat yang merupakan ruang hidupnya. Semenjak investasi asing mendapat panggung pada orde baru, lahan lahan terkonversi menjadi gedung perkantoran, pabrik pabrik, perusahaan, pertambangan, infrastruktur adalah perkakas yang menjajah rakyatnya sendiri.

Bila kita perhatikan bagaimana perkembangan kapitalisme di Indonesia hari ini bahwa konsentrasi produksi imperialis akan merubah bukan hanya masyarakat perkotaan tetepi juga pedesaan dengan alih fungsi lahan. Di Banyuwangi sendiri, semenjak karpet merah di gelar bagi investor asing masuk dan serta pengusaha pengusaha. Banyak sekali perijinan yang telah dikeluarkan secara ugal ugalan yang menimbulkan konflik dengan warga lokal.

Kita sebutkan saja: wilayah pesanggaran, wilayah sarongan, gunung terong kalibaru, bayurejo, bayu songgon, pakel licin, alas buluh wongsorejo, bongkoran wongsorejo dan pulau tabuhan. Dari beberapa wilayah yang disebutkan kita dapat melihat potret wajah Kabupaten Banyuwangi yang diwilayah pinggiran pedesaan telah dimasuki apa yang disebut praktek neo kolonuialisme dan neo imperialism.

Menyambut Hari Tani 24 September, sebagai kader PMII Banyuwangi. Sebagai sebuahb pergerakan, tentu penting melihat potret wilayah. Masifnya investor yang masuk dengan tujuan merubah potret produksi dari kota hingga pedesaan adalah bentuk ancaman bagi ruang hidup. Tentu kita tidak ingin mewariskan bencana krisis pangan kepada masa depan. Sebagai pergerakan melihat negara yang pada posisi dikotomi yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyatnya dan mementingkan kepastian masa depan rakyatnya, tidak malah memukul balik dengan memperlancar investor asing masuk dengan pengalihan pengalihan fungsi lahan. Maka dari itu penulis berharap, dengan refleksi dialektis dan penyadaran akan ruang khususnya potret wilayah. Kita mampu berdampak secara pergerakan, apalagi dunia sedang menghadapi isu kriris iklim.


Penulis: Sahabat Ando


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"CADRE"

PK PMII Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Galang Donasi