September Hitam: Refleksi Pergerakan dan Perjuangan Kaum Tani Di Banyuwangi
Sejarah Hari tani merupakan sejarah negara
Indonesia karena Indonesia merupakan negara agraris. Dalam hal ini adalah sektor
pertanian. Tidak lepas juga di Banyuwangi.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 sisa sisa penjajahan masih
kuat dan tidak banyak merubah nasib kaum
tani sebagai butuh dari tuan tanah dan perkebunan perkebunan.
Mengerucut di Banyuwangi, merupakan kabupaten
terluas di Jawa Timur, wilayahnya yang cukup beragam dari dataran rendah hingga
pegunungan. Secara geografis penduduk Banyuwangi merupakan masyarakat yang
berprofesi sebagai petani. Itu dapat dilihat dari bentang wilayah. Begini logikanya.
Apabila terdapat dalam suatu daerah lebih banyak pabrik, maka mata pencaharian
hidupnya tidak mungkin adalah nelayan. Artinya dengan letak geografis Kabupaten
Banyuwangi adalah agraris maka tentu seharusnya mayoritas mata pencahariannya
adalah bertani.
Namun logika tersebut tidak sepenuhnya berbanding
lurus, sebab pasalnya di Banyuwangi di beberapa wilayah dari ujung selatan, barat,
dan utara banyak sekali terdapat konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik
tersebut adalah perkara ruang hidup tentunya, mengingat Banyuwangi sebagai
kabupaten terluas di Jawa Timur, tentu berbicara luas adalah berbicara ruang.
Berbicara ruang merupakan syarat dari suatu
masyrakat hidup. Kita dapat membaca itu dari bagaimana cara manusia bertahan
hidup no maden hingga maden.
Menyambut hari tani 24 Spetember 2023. Penulis
ingin mengajak pembaca menggugat ingatan ulang perkara ruang hidup di Banyuwangi.
Rentetan perampasan ruang dari awal tahun
2000 an hingga 2023 telah mengambil banyak korban di Banyuwangi. Mengapa
Hari Tani? Mengapa Petani? Ya. Sebab negara kita adalah negara agraris. Negara dimana
mayoritas penduduknya adalah petani. Perjuangan bangsa adalah perjuangan kaum
tani. Koloni dating ke Indononesia adalah ingin mencuri rempah rempah.
Kemerdekaan sebagai harapan bagi rakyat
Indonesia untuk membebaskan dirinya dari penjajahan. Namun tak cukup dengan itu
watak kolonialisme diwarisi oleh pemerintah. Aset aset Indoenesia baik institusi
maupun perusahaan plat merah/ Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
kerap kali menggusur rumah dan merampas tanah pertanian rakyat yang merupakan
ruang hidupnya. Semenjak investasi asing mendapat panggung pada orde baru,
lahan lahan terkonversi menjadi gedung perkantoran, pabrik pabrik, perusahaan,
pertambangan, infrastruktur adalah perkakas yang menjajah rakyatnya sendiri.
Bila kita perhatikan bagaimana perkembangan kapitalisme
di Indonesia hari ini bahwa konsentrasi produksi imperialis akan merubah bukan
hanya masyarakat perkotaan tetepi juga pedesaan dengan alih fungsi lahan. Di Banyuwangi
sendiri, semenjak karpet merah di gelar bagi investor asing masuk dan serta pengusaha
pengusaha. Banyak sekali perijinan yang telah dikeluarkan secara ugal ugalan
yang menimbulkan konflik dengan warga lokal.
Kita sebutkan saja: wilayah pesanggaran, wilayah
sarongan, gunung terong kalibaru, bayurejo, bayu songgon, pakel licin, alas
buluh wongsorejo, bongkoran wongsorejo dan pulau tabuhan. Dari beberapa wilayah
yang disebutkan kita dapat melihat potret wajah Kabupaten Banyuwangi yang
diwilayah pinggiran pedesaan telah dimasuki apa yang disebut praktek neo
kolonuialisme dan neo imperialism.
Menyambut Hari Tani 24 September, sebagai kader PMII Banyuwangi. Sebagai sebuahb pergerakan, tentu penting melihat potret wilayah. Masifnya investor yang masuk dengan tujuan merubah potret produksi dari kota hingga pedesaan adalah bentuk ancaman bagi ruang hidup. Tentu kita tidak ingin mewariskan bencana krisis pangan kepada masa depan. Sebagai pergerakan melihat negara yang pada posisi dikotomi yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyatnya dan mementingkan kepastian masa depan rakyatnya, tidak malah memukul balik dengan memperlancar investor asing masuk dengan pengalihan pengalihan fungsi lahan. Maka dari itu penulis berharap, dengan refleksi dialektis dan penyadaran akan ruang khususnya potret wilayah. Kita mampu berdampak secara pergerakan, apalagi dunia sedang menghadapi isu kriris iklim.
Penulis: Sahabat Ando
Komentar
Posting Komentar
Kritik dan Saran Sangat Di Butuhkan Untuk Membangun Blog